Melihat Sepak Bola Italia Pasca Era Risorgimento

Lantas bagaimana nasib ketiga founding fathers sepak bola Italia itu setelah abad ke-20?

Galih Prasetyo | BolaTimes.com
Kamis, 02 Maret 2023 | 10:30 WIB
Spanduk Gambar Herbert Klipin (Instagram)

Spanduk Gambar Herbert Klipin (Instagram)

Gol.bolatimes.com - Italia sekarang bisa dikatakan sebagai salah satu kekuatan sepak bola dunia, meski mereka absen di Piala Dunia 2022. Torehan 4 gelar Piala Dunia dan 1 gelar Piala Eropa sudah cukup membuktikan bahwa Italia ialah raksasa sepak bola.

Namun jika membuka kembali lembaran sejarah sepak bola negeri Pizza ini, kita menemukan fakta bahwa kemajuan sepak bola mereka tak bisa dipisahkan dari sejumlah tokoh yang bisa diangggap sebagai founding fathers sepak bola Italia.

Ada tiga nama yang layak untuk dikedepankan sebagai founding fathers sepak bola Italia, mereka ialah Edoardo Bosio, James Spensley, dan Herbert Kilpin. Menariknya dua nama bukanlah orang asli Italia, Spensley dan Kilpin ialah orang Inggris, dan Bosio berdarah campuran Swiss-Italia.

Baca Juga: Hasil Drawing Kualifikasi Euro 2024: Timnas Italia Bertemu Musuh yang Bikin Gagal ke Piala Dunia 2022

Ketiga tokoh ini memiliki peran sangat besar saat Italia baru bersatu sebagai negara di era 1880-an dan tahun-tahun sebelumnya.

Italia di era tersebut merupakan negara kelam. Mereka baru saja melewati masa-masa pertumparan darah karena keinginan untuk menjadi satu republik.

Konflik berdarah terjadi di semenanjung Italia karena konsep ingin jadi satu negara, pasalnya sejumlah daerah saat itu masih berbentuk kerajaan.

Baca Juga: Profil Federico Gatti, Kuli Bangunan yang Kini Jadi Calon Bek Andalan Timnas Italia

Konsep untuk menjadi republik sudah mulai disuarakan saat Eugene de Beauharnais, putra tiri dari Napoleon Bonaparte menjadi Raja Muda kerajaan Italia Raya. Sayangnya Eugene gagal, gejolak untuk dari sejumlah kerajaan kecil di Italia membuatnya tersingkir.

Hingga akhirnya Raja Sardinia menjadi raja Italia bersatu pada era 1861. Masalahnya kemudian, hal tersebut tak berlangsung lama. Konflik berdarah terus terjadi hingga akhirnya tiba masa Risorgimento atau masa penyatuan ke dalam sebuah negara tunggal Kerajaan Italia pada 1871.

Tak lama setelah masa Risorgimento tersebut, Bosio kemudian mendirikan Torino Football dan Cricket Club. Saat itu usainya baru 23 tahun. Ide untuk mendirikan klub Torino ini didapatkan Bosio setelah cukup lama ia tinggal dan bekerja sebagai akuntan di Nottingham, Inggris.

Bosio saat itu terbiasa untuk bermain kriket pada musim panas, dan bermain sepak bola saat musim dingin. Sepak bola masih jadi olahraga asing bagi sejumlah orang di Italia.

Ia malah dianggap sebagai miliki orang Inggris, dan tak sudi bagi orang Italia memainkannya. Pengaruh konflik sosial politik soal Kerajaan Inggris Raya yang begitu superior jadi salah satu alasannya.

Tak lama setelah Torino lahir, pada 1889, lahir klub sepakbola lain yang bernama Nobili Torino yang didirikan oleh sejumlah bangsawan Italia yang berdarah campuran seperti Luigi Amedeo, seorang pangeran kelahiran Madrid yang merupakan keponakan dari Raja Italia, Victor Emmanuel III dan menjabat sebagai Adipati Abruzzi, wilayah di Selatan Italia.

Berdirinya Nobili Torino ini melihat respon masyarakat Italia, utamanya kaum imigran yang berasal dari Argentina dan Amerika Selatan kepada sepak bola dan kriket.

Ramainya kaum imigran bermain sepak bola ini yang mengikis keengganan orang Italia bermain si kulit bundar. Pada 1891, Nobili Torino akhirnya memutuskan diri untuk bersatu dengan klub yang didirikan oleh Bosio dan membentuk klub bernama Internazionale Torino.

Sementara itu, berjarak 172,3 km jauhnya dari Turin, tepatnya di daerah pelabuhan Genoa, seorang dokter kelahiran Stoke, Inggris, James Richardson Spensley tiba di Italia pada 1896. Spensley merantau ke Italia untuk bekerja sebagai karyawan di pertambangan batu bara.

Saat masih di Inggris, Spensley tak hanya berprofesi sebagai seorang dokter, ia juga menekuni olahraga tinju dan juga seorang ahli bahasa. Spensley kabarnya menguasai bahasa Sansekerta, dan sempat bekerja sebagai wartawan untuk Daily Mail.

Spensley kemudian masuk ke klub kriket amatir yang kabarnya didirikan oleh para pelaut Inggris di Genoa. Pada 10 April 1897, Spensley kemudian mendirikan klub yang sekarang kita kenal bernama Genoa C.F.C. Ia membujuk dewan olahraga di Genoa untuk mengakui bahwa dirinya yang mendirikan klub tersebut.

Tak salah memang jika Spensley mengaku sebagai pendiri Genoa C.F.C., pasalnya klub terdahulu yang bernama Genoa Cricket and Athletics Club tak memasukkan sepakbola sebagai cabang olahraga mereka. Spensley kemudian mendorong sepak bola lebih modern dan beradap dibanding saat Borio di awal mempopulerkan sepak bola.

Seperti dikutip dari footballinitaly.com, sepak bola yang diperkenalkan Borio saat itu hanyalah permainan dan bukanlah pertandingan formal, kalaupun ada pertandingan itu hanya 'lucu-lucuan' semata.

Klub bentukan Spensley yang kemudian tercatat sebagai klub sepak bola yang melakoni pertandingan formal melawan Football Club Torinese pada 06 Januari 1898 di Genoa. Menurut catatan pertandingan, tim tamu berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 1-0.

Sejumlah literasi yang masih tersimpan rapi menunjukkan bahwa wasit yang memimpin laga ini ialah seorang pendeta bernama Richard Douglas. Besar kemungkinan ia juga seorang kelahiran Inggris. Sejahrawan John Foot menyebut bahwa tiket pada pertandingan sepak bola pertama di Italia tersebut dijual dengan harga 1 lira.

"154 tiket terjual dengan harga 1 lira, namun ada juga penonton yang harus membayar ekstra. Penyelenggara pertandingan untung hampir 100 lira saat itu," tulis Footballinitaly.

Suksesnya pertandingan Genoa vs Torinese mendorong sejumlah pihak untuk terus melangsungkan pertandingan sepak bola, hingga akhrnya pada Mei 1898 berlangsung turnamen yang diikuti 4 klub pionir sepakbola Italia yakni, Genoa, Internazionale Torino, Torinese dan Ginnastica Torino.

Turnamen ini berlangsung di stadion berkapasitas 15.000 di kota Turin bernama Velodrome Humbert I. Turnamen yang hanya berlangsung satu hari dan sempat diberhentikan untuk makan siang ini menghasilkan Genoa sebagai juara turnamen.

Spensley saat itu masuk di skuat Genoa dan berposisi sebagai kiper, selain itu dari 11 pemain Genoa, 3 pemain ialah orang Inggris.

Setahun setelah turnamen sepakbola pertama di Italia tersebut, di kota Milan, seorang pesepak bola kelahiran Nottingham, Herbert Klipin mendirikan klub Milan Football and Cricket Club. Sebelumnya Klipin sendiri sempat ikut membantu Bosio saat memperkenalkan sepakbola di Turin hingga mendirikan Internazionale Torino.

Di buku The Lord of Milan yang rilis pada 2017 disebutkan bahwa pendirian Milan Football and Cricket Club merupakan keinginan besar Klipin begitu ikut dalam turnamen di Turin.

Sejak awal berdirinya, klub yang sekarang kita kenal dengan sebutan AC Milan ini memang sudah memilih warna merah hitam sebagai warna kebesaran.

"Warna kami merah, karena kami akan menjadi iblis dan hitam karena kami akan menjadi sumber ketakutan. Merah dan hitam akan menyerang hati lawan-lawan kami di lapangan hijau," begitu kata Klipin soal filosofi warna merah hitam AC Milan.

Sayangnya kemudian klub yang didirikan oleh Klipin ini kemudian pecah, dua tahun setelah ia memutuskan pensiun pada 1907.

Klub yang awalnya didominasi pemain Italia dan Inggris ini kemudian memiliki 'adik' bernama Football Club Internazionale atau Inter Milan yang berdiri pada 08 Maret 1908, tim sepak bola yang tidak hanya dikhususkan untuk pesepak bola Inggris dan Italia.

Dua tahun Inter Milan berdiri, Timnas Italia yang sempat juga dibela oleh sejumlah kaum imigran serta orang Inggris akhirnya memiliki timnas sendiri dan sepenuhnya ialah para pesepak bola asli Italia.

Lantas bagaimana nasib ketiga founding fathers sepak bola Italia itu setelah abad ke-20? Dr James Spensley seperti dikutip dari Daily Mail terbunuh di tanah tak bertuan saat Perang Dunia 1. Spensley kabarnya ditembak oleh sniper asal Jerman.

Sedangkan Bosio meninggal di Davos, Swiss pada usia 62 tahun pada 1927. 7 tahun setelah Bosio meninggal, Timnas Italia menjadi juara Piala Dunia. Sedangkan Klipin meninggal di Milan pada 1916 dan sempat tak diketahui kuburannya.

Baru pada 1998, seorang wartawan lokal bernama Luigi La Rocca berhasil menemukan kuburan Klipin di area perkuburan Protestan tak terkenal di Milan. Jasad Klipin kemudian dipindahkan ke Monumentale di Milano, area perkuburan untuk orang-orang penting dan berjasa bagi kota Milan.

Berita Rekomendasi
Berita Terkait
TERKINI

Dua pemain naturalisasi Timnas Indonesia punya jalan berbeda.

indonesia | 14:20 WIB

Inilah hasil drawing babak pertama Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.

indonesia | 13:59 WIB

Ian Maatsen bawa Chelsea menang telak.

indonesia | 11:13 WIB

Penyerang Timnas Putri Indonesia U-19 ingin skuadnya lakukan ini.

indonesia | 15:06 WIB

Striker jebolan Garuda Select disanjung mantan pelatih Timnas Indonesia.

indonesia | 13:23 WIB

Anak asuh Shin Tae-yong di Timnas Indonesia U-20 dilepas oleh klubnya di Eropa

indonesia | 09:07 WIB

Thomas Doll menilai ada sejumlah pemain Indonesia yang layak bermain di Liga Jerman

indonesia | 08:17 WIB

Bima Sakti tidak baper usai disindir netizen dengan sebutan pelatih tarkam.

indonesia | 20:45 WIB
Tampilkan lebih banyak