Galih Prasetyo
Herman Dzumafo dan Osas Saha ikutan tarkam untuk mengisi kegiatan karena Liga 2 berhenti (Instagram/diamondfc_jakarta)

Gol.bolatimes.com - Kompetisi Liga 2 dan 3 dipaksa berhenti. PSSI usai rapat komite eksekutif (Exco) pada Kamis 12 Januari 2023 putuskan menghentikan kompetisi Liga 2 dan 3.

Putusan ini tentu saja membuat teriak klub, utamanya para pemain. Demi dapur bisa mengebul, para pemain dari klub Liga 2 dan Liga 3 pun terpaksa turun di turnamen antar kampung alias tarkam.

Striker klub Liga 2, FC Bekasi City, Herman Dzumafo misalnya. Seperti dikutip dari Antara, Herman Dzumafo ikut ambil bagian di kompetisi tarkam yang berlangsung di Kalideres, Jakarta Barat.

Baca Juga:
Efek Liga 2 Berhenti Sementara Waktu, Para Pemain Manfaatkan Waktu Luang untuk Ikut Tarkam

Herman Dzumafo membela klub Diamond FC melawan klub Bina Putra FC pada pertandingan babak final turnamen FKRW Pegadungan Cup 2022-23.

Tarkam sebenarnya adalah budaya sepak bola Indonesia. Dulu, tarkam merupakan kunci dan sekarang ia menjadi penyambung hidup pemain.

Tak ada literasi sejarah yang bisa memastikan kapan budaya tarkam di sepakbola nasional pertama kali diadakan. Namun jika kita berkaca era 50-60an, kita bisa sedikit menemukan fakta bahwa turnamen Tarkam di era tersebut menjamur.

Baca Juga:
Kompetisi Dihentikan PSSI, Klub Liga 2 dan Liga 3 Diundang Main Tarkam

Dikutip dari buku berjudul 'M.F. Siregar, matahari olahraga Indonesia' terbitan 2008, Presiden Indonesia Soekarno saat itu mencanangkan Rencana 10 Tahun Olahraga.

Soekarno menginginkan adanya Revolusi Olahraga Indonesia. Untuk melaksanakan tersebut, Soekarno membuat 5 Program Dasar yang salah satunya ialah Memperluas dan mengintensifkan gerakan olahraga di lingkungan pemuda/pelajar.

Konsisten-nya Sukarno untuk membuat olahraga berada di posisi yang tinggi membuat dampak yang sangat positif. Kompetisi olahraga di kampung-kampung kala itu sangat semarak, tidak hanya sepak bola namun juga hampir seluruh cabang olahraga.

Baca Juga:
Instagram Witan Sulaeman Diserang Netizen usai Gagal Jebol Thailand, Disebut Pemain Eropa Rasa Tarkam

Dulu, dari tarkam muncul banyak pesepak bola hebat negeri ini. Sebenarnya tarkam yang ada di negeri ini tak jauh berbeda dengan budaya sepak bola Brasil. Di negeri sepakbola tersebut, hampir seluruh gang sempit di kota itu terdapat anak-anak bermain sepak bola dalam sebuah turnamen kecil.

Konsep tarkam memang bisa menjadi alternatif untuk menjadi sarana pencarian bibit muda Indonesia. Konsep tarkam yang merupakan budaya grassroot bisa membongkar kekeliruan pemberdayaan sepak bola saat ini yang selalu dari bottom up ke bottom down dan diubah menjadi bottom down ke bottom up.

Tarkam dengan segala positif dan negatifnya akan memecut para pemain muda, tidak hanya skill namun juga mental.

Baca Juga:
Profil Khairallah Abdelkbir, Pemain Naturalisasi Asal Maroko yang Pernah Main Tarkam

Keterbatasan tarkam membuat si pemain mampu membuat sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin. Ini bahasa mental yang belum tentu dimiliki oleh para pemain muda jebolan akademi dan SSB dengan pelbagai fasilitas mewah dan lengkap.

Bisa bayangkan jika Anda pemain di tarkam hanya mendapat bayaran kurang dari sejuta/laga, apa yang akan ia lakukan? Bermain habis-habisan atau tampil seadanya? 

Bagi pemain yang bercita-cita jadi pesepak bola profesional, tentu saja pilihannya akan bermain habis-habisan. Hal sama juga dilakukan pemain profesional seperti Herman Dzumafo saat ikut tarkam di Jakarta Barat.

Bermain habis-habisan tentu saja dilakukannya, berharap masih bisa ikut tarkam di tempat lain demi dapur ngebul.

Artikel Ardy Nurhadi Shufi di Panditfootball mengangkat kisah lulusan tarkam yang benar-benar sudah terlatih skill dan mentalnya hingga saat ini kita kenal sebagai legenda sepak bola nasional, Widodo Cahyono Putro.

"Bungsu dari 12 bersaudara ini mendapatkan ‘kompetisi’ sejak dini dengan bermain sepak bola tarkam atau sepak bola antar kampung. Bahkan ia bisa bermain di Warna Agung berkat penampilannya pada sebuah turnamen tarkam." tulis Ardy.

Selain Widodo C Putro, ada juga lulusan tarkam yang bermain di kompetisi profesional liga Indonesia seperti Friska Womsiwor. Lalu ada Lerby Eliandry yang pernah main tarkam di Samarinda.

Ia pun beranjak dari klub tarkam dan dipanggil untuk memperkuat tim sepakbola Kalimantan Timur di ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012 dan membawa Samarinda meraih medali emas.

Tarkam pada akhirnya tetap menjadi kunci. Jika dulu menjadi kawah candradimuka untuk lahir bakat sepak bola nasional, saat ini menjadi pilihan bagi pemain di Liga 2 dan 3 untuk bisa bertahan hidup.